Melepas Kacamata

Wiii.. Judul post ini bukan berarti minus lima saya udah sembuh dan wajah saya bisa free of lenses lagi. *meskipun sangat ingin…

Ceritanya, minggu lalu saya lagi dalam perjalanan ke kampus. Tiba-tiba angkot distop dan dua orang wanita naik bersama seorang anak laki-laki. Salah satu dari wanita tadi duduk di bangku “artis”, alias bangku yang dekat pintu dan menghadap kaca belakang angkot. Hehekh. *entah dari mana saya dapat istilah bangku “artis”… kayaknya dari teman.

Nah, kebiasaan saya ngeliatin dan ngupingin (sambil ngomentarin dalam hati) orang-orang di angkot pun mulai berada dalam mode ON. Dari gayanya yang ngobrol terus sama si anak, saya mulai nebak-nebak apa mungkin wanita di bangku artis tadi adalah bibinya. Mukanya sih keliatan ramah. Trus kayaknya familiar gitu… Apa ada artis yang mirip ama dia ya? *ada juga dia kaleee yang mirip artis…

Tiba-tiba dia membuat sebuah gesture. Dia membetulkan letak kacamatanya. Dan apa yang terjadi sodara-sodara..!?

Saya jadi tau gimana wajahnya kalo kacamatanya dilepas. Sangat berbeda.

Wajarlah. Biasanya juga orang kalo udah lama make kacamata, pasti raut mukanya jadi berubah. Mereka bisa terlihat sangat berbeda ketika memakai dan melepas kacamata mereka. Tapi ada juga orang-orang seperti saya, yang ngga mau mukanya berubah dan akhirnya memutuskan untuk sesekali memakai contact lenses.

Saya lalu teringat sebuah buku berjudul The Mind Gym. Katanya, setiap orang punya kecenderungan untuk menggunakan pola pikir tertentu untuk memecahkan berbagai persoalan.

Intinya sih, menurut saya, setiap orang terus-menerus memakai kacamata tertentu mereka untuk memandang segala sesuatu dalam hidup mereka. Problem is, mereka hanya bisa memilih kacamata yang disediakan oleh lingkungan tempat mereka tumbuh… sama seperti customer cuma bisa memilih kacamata yang dijual di optik yang mereka datangi.

Kacamata yang bagus, harganya mahal. Begitu juga dengan cara pandang. Makin banyak informasi yang dilahap, makin besar kemungkinan seseorang untuk berpikiran kritis, luas dan terbuka. Tapi informasi di negeri ini masih mahal kan? Ngga semua orang punya akses yang sama terhadap informasi yang membangun.

Another problem, semakin lama menggunakan kacamata, wajah asli kita berubah. Ngga salah kok, make kacamata. Tapi jangan sampai kehilangan identitas dan keterbukaan karenanya. Kadang kita terlena dengan apa yang sudah biasa kita lihat, sudah biasa kita dengar dan sudah biasa kita rasakan. Kita ngga lagi berpikir untuk menanyakan kembali diri kita apakah yang kita perbuat memang benar dan pantas. Dan ketika terjadi sesuatu yang berlainan dengan apa yang biasa kita lakukan, kita begitu sulit menerimanya tanpa menjelek-jelekannya dahulu; seolah kita paling tahu apa yang paling benar.

Kacamata sebagus apapun, perlu dilepas sekali waktu. Beda lho, ketika pandangan kita dibatasi oleh lensa kacamata yang hanya berapa inchi persegi itu luas permukaan sisi depannya dengan pandangan yang bersih dan ngga ternodai bayang-bayang pinggiran kacamata.

Paling ngga kita bisa melihat dunia sekitar kita dengan dua cara pandang. Kalau mampu, kita bisa beli kacamata lain dan pakai itu sesekali untuk menambah alternatif cara pandang.

Tapi yah… lagi-lagi semua tergantung persediaan kacamata di optik yang didatangi kan. Pola pikir/cara pandang itu dipengaruhi tempat tumbuh seseorang kan. Kalau lingkungannya ngga mau menyediakan kacamata yang baik buatnya, ngga mau memudahkan dia memperoleh kacamatanya, apa yang bisa kita perbuat?

– cheers to all –


5 thoughts on “Melepas Kacamata

  1. Kak, Tasya. Aku malah senang lihat kakak make kacamata. Tambah manis, apa mungkin karena aku jarang lihat kakak pake kacamata ya Hehe………
    CLU
    -smiles 4 u-

Tinggalkan Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.